Bila anda berwisata ke Jogja dan mengunjungi makam Imogiri/ makam Raja-raja Mataram (diantaranya yang terkenal adalah Sultan Agung Hanyokro Kusumo dan Sri Sultan Hamengku Buwono IX (mantan Wakil PresidenRepublik Indonesia)) di Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, Yogyakarta, di sekitar komplek makam banyak warung/toko yang menyediakan Wedang Uwuh. Keingintahuan segera timbul bahkan yang tidak mengerti bahasa Jawa sekalipun.
Dalam bahasa Jawa ‘wedang’ berarti minuman (makna dasarnya air yang telah direbus/ dimasak) , sedangkan ‘uwuh’ (larahan) berarti sampah. Jadi? Minuman sampah? Bukan minuman dari sampah! Tetapi minuman yang terbuat dari dedaunan dan rempah ( daun cengkeh, daun kayu manis, daun pala, serutan kayu secang,jahe dan lain-lain ) yang disajikan dalam gelas bening dan masih terlihat bahannya seperti sampah. (‘jadul’, konotasi ‘uwuh’ bagi orang Jawa/Imogiri adalah daun yang rontok karena sudah tua dan kering, yang menyebabkan suasana kotor di halaman rumah)
Walau terlihat seperti sampah, tetapi bila anda melihat warna merahnya tentu akan berselera untuk mencoba dan ketika aroma sampai hidung akan menyegarkan suasana. Dan setelah mencoba akan merasakan sensasi nikmatnya minuman ini.
Berawal dari era tahun 1970an (bahkan mungkin jauh sebelum itu), para ‘abdi dalem’ pengurus makam dan pedagang warung di komplek makam, memanfaatkan daun cengkeh kering yang berjatuhan dijadikan minuman dicampur gula jawa,yang disebut “wedang cengkeh”.
Sesuai dengan berlalunya waktu, masyarakat Imogiri yang dikenal kreatif dan mempunyai cita rasa kesempurnaan kenikmatan, menambah ramuan yang menghasilkan minuman yang nikmat dan menyegarkan suasana.
Masyarakat Imogiri menikmati wedang uwuh dengan cara ‘mat-matan’’, disajikan dengan gula batu supaya manisnya terasa mantap. (Mat-matan: meluangkan waktu khusus untuk menikmati sesuatu (biasanya untuk mengisi waktu istirahat))
Tidak ada komentar:
Posting Komentar